MALANGRAYA.CO – Fenomena perang sarung yang kerap terjadi di bulan Ramadan, telah menjadi sorotan serius bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi kalangan anak-anak dan remaja. Tradisi yang semula merupakan candaan subuh dan pasca-salat Tarawih ini, kini berubah menjadi ajang tauran yang menyimpan potensi bahaya.
Menurut Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarty, dalam wawancaranya dengan PRO3 RRI, Senin (18/3/2024), perang sarung yang seharusnya berlangsung dalam nuansa jenaka, kini telah disusupi oleh elemen-elemen kekerasan.
"Perangnya itu tetap menggunakan sarung, tapi di dalam buntalan tadi sudah diisi beling, belati, celurit ke dalam sarung. Itu yang semulanya untuk bercandaan, tapi untuk tauran, niatnya bukan pura-pura perang sarung," tutur Retno.
Asal muasal perang sarung yang merupakan bagian dari kegembiraan bulan suci, kini menimbulkan keprihatinan. Retno menjelaskan, awalnya anak-anak bersenda gurau dengan sarung yang digulung dan diikat pada salah satu ujungnya setelah mereka sahur atau salat subuh di masjid.
Namun, pergeseran fungsi sarung dari alat bercanda menjadi senjata tauran telah menimbulkan sejumlah korban yang harus mendapatkan perawatan medis.
Retno menekankan bahwa fenomena perang sarung yang berujung pada kekerasan ini tidak terlepas dari pola asuh dalam keluarga. "Tidak mungkin anak-anak dengan keluarga yang hangat, komunikasi positif serta kepercayaan diri yang baik itu melakukan perang sarung," ujarnya.
Lebih lanjut, Retno menegaskan bahwa penanganan masalah perang sarung memerlukan kerja sama antara aparat penegak hukum dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ia juga menyarankan adanya keterlibatan psikolog keluarga dan dewasa dalam penanganan kasus ini.
Baca Juga: Tragedi Kemanusiaan di Gaza: UNICEF Ungkap Kekerasan Mengerikan yang Menimpa Anak-Anak