Mencari Filosofi Kearemaan

- 9 Desember 2023, 19:13 WIB
Segera pergilah kegelapan. Langit dan hati. Kesia-siaan harus diakhiri. Kami satu jiwa. Rasa pedih di dulang sama: jiwa bersama. (@saryonodjoko 2 Oktober 2022)
Segera pergilah kegelapan. Langit dan hati. Kesia-siaan harus diakhiri. Kami satu jiwa. Rasa pedih di dulang sama: jiwa bersama. (@saryonodjoko 2 Oktober 2022) /@saryonodjoko/Djoko Saryono

 

Adakah filosofi kearemaan, dan bisakah menjadi nilai dan norma dasar tata kebudayaan atau tata kehidupan di Malang Raya, yang dapat menjadi penuntun, acuan (rujukan), proyeksi, dan kendali sikap dan perilaku insan siapa pun yang berada dan berdiam di Malang Raya?

Menurut saya, ada.

Filosofi kearemaan itu terekspresi dalam pernyataan frasa "Salam Satu Jiwa". Frasa "Salam Satu Jiwa" dapat diangkat menjadi nilai dan norma dasar kearemaan.

Bukan cuma menggemakan keutuhan-kesatuan kemanusiaan, frasa Salam Satu Jiwa mengekspresikan penghormatan manusia dan kemanusiaan, pengakuan kesetaraan sesama manusia (apa pun latar belakang mereka), pengutamaan kehidupan dan kedamaian di atas segala-galanya, dan penerimaan bagi siapa pun sebagai bagian terpadu kehidupan.

Ringkas kata, Salam Satu Jiwa merupakan filosofi yang memancarkan humanitas dan spiritualitas yang inklusif, egaliter, dan terbuka.

Sebagai nilai dan norma dasar kearemaan, filosofi Salam Satu Jiwa dapat ditempatkan sebagai titik-temu, pijakan bersama, kesepakatan bersama, dan platform umum budaya-budaya dan orang-orang siapa pun mereka yang datang dan atau mukim di Malang Raya. Baik yang global, nasional maupun lokal (berbagai budaya lokal) boleh dan dapat hidup di Malang Raya tanpa harus mengalami 'mutilasi' budaya dan identitas, di dalam naungan filosofi kearemaan.

Sebab itu, dengan filosofi dan spirit Salam Satu Jiwa, kearemaan menjadi mangkuk besar atau meja prasmanan budaya-budaya beserta para pemangkunya, bukan ajang/kuali peleburan budaya-budaya yang datang ke Malang Raya.

Dinamika budaya dan interaksi manusia yang begitu tinggi tersebab Malang Raya merupakan wilayah terbuka dengan mobilitas fisikal tinggi memerlukan rajutan nilai dan norma dasar kehidupan yang mantap dan solid.

Untuk itu, filosofi Salam Satu Jiwa perlu diperkaya maknanya sekaligus diperkuat ranah penerapannya. Pengayaan dan penguatan makna filosofi Salam Satu Jiwa itu perlu memperhitungkan dua faktor.

Pertama, faktor akar historis Salam Satu Jiwa, yang berarti perlu dilakukan eksplorasi kekayaan nilai dan norma hidup pada masa lalu.

Kedua, faktor tafsir futuristik, yang berarti ekstensifikasi tafsir Salam Satu Jiwa demi kehidupan masa akan datang.

Sesudah itu, pengayaan sekaligus penguatan filosofi kearemaan Salam Satu Jiwa perlu dilakukan dengan empat cara. Pertama, pemasyarakatan filosofi Salam Satu Jiwa secara luas dan meluas. Kedua, apresiasi filosofi Salam Satu Jiwa di dalam tata hidup di Malang Raya. Ketiga, penanaman ke dalam batin kehidupan di Malang Raya secara berkesinambungan. Keempat, pembiasaan filosofi Salam Satu Jiwa sebagai identitas kearemaan yang terbuka dan menerima siapa dan apa saja sesuai ciri kearemaan.


Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd.
Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd.
 Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. merupakan guru besar Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Sebagai akademisi, karyanya menjadi rujukan di bidang linguistik, teori sastra, semantik, dan pendidikan.
Karya tulisnya telah dipublikasikan oleh berbagai penerbit, diantaranya Model-model Pembelajaran Mutakhir (2001), Apresiasi Sastra Indonesia (2006), Dasar Apresiasi Sastra (2009), Menafsir puitika Indonesia menemu tilas budaya Jawa (2010), Linguistik Bandingan (2011), Tata Kalimat Bahasa Indonesia (2012). Sebagai sastrawan dan budayawan, ia dikenal melalui karya Di Hadapan Kecamuk Kekuasaan: Esai-esai Sosial Budaya (2005), Arung Diri: Kitab Puisi (2013), Kemelut Cinta Rahwana (2015) dan Arung Cinta (2015).***

Editor: Yudhista AP


Tags

Artikel Pilihan

Terkini