Geger Pajak Hiburan 75%, Industri Pariwisata Bergejolak, Pemerintah Cari Jalan Tengah

- 16 Januari 2024, 08:36 WIB
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno /Antara

MALANGRAYA.CO - Industri pariwisata dan hiburan Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan baru dengan pengumuman kenaikan tarif pajak hiburan yang mencapai 40 hingga 75 persen. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, menyerukan ketenangan bagi para pelaku usaha terkait kebijakan ini.

“Pemerintah berupaya hadir dengan kebijakan yang mendukung sektor pariwisata,” kata Sandi dalam acara The Weekly Brief with Sandi Uno. Ia menegaskan bahwa kebijakan pemerintah dirancang untuk menguatkan, bukan melemahkan industri pariwisata dan ekonomi kreatif.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun, menyampaikan bahwa pengusaha spa di Bali yang merasa terbebani dapat mengajukan keberatan. “Kami mengharapkan pemerintah kabupaten/kota untuk memperhatikan keberatan dari pengusaha spa,” ujar Tjok.

Polemik ini muncul menyusul penetapan pajak hiburan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Aturan ini menetapkan pajak untuk jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan spa dengan tarif minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.

Pemerintah Kota Surakarta telah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) karaoke dari 35 persen menjadi 40 persen. Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menetapkan PBJT hiburan sebesar 40 persen, naik dari tarif sebelumnya yang 25 persen.

Di tengah kekhawatiran ini, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali dan Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. "Kami berharap adanya penundaan kenaikan tarif pajak ini," kata Ketua GIPI Bali, Ida Bagus Agung Parta Adnyana.

Kepala Badan Pendapatan Daerah DKI Jakarta, Lusiana Herawati, mengatakan, “Sampai RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) disahkan, aturan pajak hiburan masih mengacu pada UU HKPD.” RUU DKJ menyebutkan tarif pajak hiburan sebesar 25-75 persen, memungkinkan wewenang tarif pajak hiburan dikecualikan dari aturan pemerintah pusat.

Kenaikan tarif pajak hiburan ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha pariwisata dan hiburan. Mereka khawatir akan dampaknya terhadap daya saing dan keberlanjutan bisnis di sektor ini. Diskusi dan pencarian solusi bersama antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi krusial untuk menyeimbangkan kepentingan pengembangan industri pariwisata dan kewajiban pajak.

Tantangan ini membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku industri menjadi kunci dalam mencari titik temu yang dapat mendukung pertumbuhan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, sekaligus memastikan keadilan fiskal.***

Editor: Yudhista AP

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x